Senin, 01 Oktober 2012

Pendidikan (jangan) Rusak-Rusakan

Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2012/10/01/367/697516/pendidikan-jangan-rusak-rusakan
Khoirul Anwar. (Foto: dok. pribadi)
Khoirul Anwar. (Foto: dok. pribadi)
SEPASANG siswa laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu bersandar di city car. Siswa, di sisi kiri mobil, dengan gaya macho, memakai kacamata hitam, tangan  kanan berkacak pinggang, tangan kiri menyangga kepala, seperti membenahi kacamatanya yang hitam legam. Sang siswi tengah membelakangi dan di sebelah kanan mobil kelihatan asyik ngobrol melalui telepon genggamnya. Sepatu merah yang mencolok, seperti warna lipstick yang memoles bibirnya yang tipis. Terlihat cantik nan modis. Jam tangan keluaran terbaru semakin mengukuhkan jika sang siswi memang bukan siswa kuper (kurang pergaulan).
Semua itu hanyalah gambar sampul dari buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta pada 2007 (cetakan kedua). Entah, apa alasannya desain sampul mengambil gambar demikian? Tentunya itu bukan hal kebetulan, melainkan ada pesan sekaligus mewakili amanat yang akan disampaikan dari isi buku tersebut. Lantas, apakah kemodisan, ketidakkuperan dandannya seorang siswa dapat mewakili tanda-tanda bahwa dunia pendidikan telah rusak atau sedang mengalami fase “rusak-rusakan”?

Di masyakat kita, penampilan siswa tidak dituntut modis, tetapi rapi. Masih menjadi hal yang asing bila dandanan siswa begitu “aneh”, menor-menor atau menunjukkan penampilan “seksi”. Meski, bisa saja, di luar sana seorang siswa merangkap sebagai foto model atau artis. Tetapi, di sekolah, siswa haruslah menunjukkan perilaku berbusana selayaknya siswa, bukan foto model. Sebab sekolah bukanlah catwalk, tempat lenggak-lenggok peragaan busana. Jor-joran memamerkan tren kebusanaan. Meski sekaya, semampu apa pun siswa dan orangtua untuk membeli pakaian, mereka tetap berbusana dalam kode etik pendidikan.

Itu idealnya. Lantas bagaimana dengan kenyataan di lapangan, di sekolah? Jawabannya bisa bermacam. Tinggal di sekolah/daerah mana kita melihatnya. Siswa Jakarta tentunya mempunyai cara dandan yang berbeda dengan dandannya para siswa di kampung saya yang culun-culun dan terkesan katroknya. Namun, ada indikasi jika cara berbusana siswa memang mengarah pada tren  “gaul”. Pernah teman mengatakan jika siswa sekarang, mulai anak SD, sudah pintar dandan tidak seperti zamannya sekolah dulu yang kebanyakan para siswanya tidak pintar dandan.

Zaman terus bergulir, lain dulu lain sekarang. Keadaan dulu tidak bisa menjadi standar kehidupan siswa sekarang. Di balik “ketidakbisaan” tersebut kita tetap harus hati-hati, bijak jangan sampai siswa hanya terjebak pada model seragam. Di luar seragam masih ada “otak” yang harus digarap supaya tidak ketinggalan. Memoles gaya boleh, tetapi tetap harus diajukan pertanyaan tujuannya kemodisan berbusana tersebut. Apalagi status sebagai pelajar dan berlingkup di sekolah.

Selain itu, ternyata masih banyak siswa yang berdandan apa adanya. Siswa yang hanya memiliki tiga pasang seragam untuk Senin sampai Sabtu. Dandanan siswa yang modis kebanyakan terpampang dalam film-film, jarang di dunia nyata. Lihatlah dandanan seorang artis yang berperan sebagai siswa, apalagi siswa SMA, begitu memesona dan aduhai. Seragam putih abu-abu begitu menawannya dipandang mata. Masa ranum-ranumnya dengan pakaian putih abu-abu.

Sayang sekali, citra film oleh sebagian siswa kita dijadikan patokan: begini lho dandanan yang tak ketinggalan zaman itu! Padahal itu hanya film, yang dibuat seindah, semenarik mungkin yang tujuan untung-rugi, enak ditonton atau tidak. Berduyun-duyun siswa di alam nyatanya meniru gaya pakaian para artis sekolahan. Ah, bukankah ini juga semakin menyegarkan pandangan di sekolah?

Darmaningtyas dalam bukunya Pendidikan Rusak-Rusakan yang diwakili oleh gambar sampul seperti yang digambarkan di atas bukanlah ingin menyoroti masalah seragam atau perubahan mode siswa sekarang saja. Lebih jauh lagi, Darmaningtyas ingin membongkar keadaan pendidikan sekarang yang cenderung anjret ke jurang “bukan pendidikan”. Mulai dari problem anggaran, reformasi pendidikan yang setiap ganti menteri ganti kebijakan, masa depan guru di tengah hiruk pikuk otonomi pendidikan, hingga wacana pendidikan yang membebaskan.

Pengamatan Darmaningtyas menunjukan pendidikan mengarah ke kondisi amburadul. Mungkin kata rusak-rusakan dapat mewakili tatanan pendidikan dewasa ini. Kata rusak itu masih mending, sebab rusak itu karena proses waktu dan “objek” tak pernah mendapat perawatan. Tetapi, kata “rusak-rusakan” tentunya lebih ngeri lagi, bukan sekadar rusak, melainkan proses tatanan yang sekenanya dan cenderung kacau balau. Ada semacam pembiaran keteraturan pendidikan mengarah ke keadaan entropi.

Misalnya, dalam anggaran pendikan. Pendidikan bukan sekadar anggaran yang terus merangkak naik lantas seluruh elemen bangsa bangga karena rasa terjamin pendidikan murah itu ada. Darmaningtyas, menyitir ucapan mantan Mendikbud Fuad Hasan, “…Seandainya anggaran pendidikan dinaikkan, lalu mau ngapain? Kalau jalan-jalan yang menghubungkan antardaerah itu masih buruk, kalau semua daerah belum terlayani oleh listrik dan telepon, atau fasilitas lain yang mendukung proses belajar murid? Jadi, peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya tergantung pada besarnya dana yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan saja, tapi juga dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya.” Dengan kata lain, kenaikan dana pendidikan tidak otomatis membuat pendidikan lebih baik, jika tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur yang erat dengan proses belajar mengajar.

Di sisi lain, guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan yang tugasnya tidak hanya memindahkan teks dari buku ke papan tulis tetapi juga menghadapi tantangan yang kompleks dari berbagai penjuru. Guru tidak hanya dituntut mencerdaskan kognitif siswa tetapi terkadang malah menjadi pelampiasan kekecewaan orangtua siswa jika ada kegagalan yang dialami anak-anaknya. Profesionalisme guru pascaotonomi tidak cukup diukur dari kemampuan mengajar di depan kelas, tetapi juga diukur dari kelihaiannya sebagai aktor perubahan.

Guru sebagai aktor perubahan di daerahnya pun tidak mudah sebab ini kaitannya dengan watak dan mental: beranikah guru melakukan perubahan jika kondisi politis di daerahnya tidak memberikan ruang untuk berubah? Belum lagi dengan budaya mall, yang menawarkan berbagai iming-iming kenikmatan, keglamouran hidup. Guru yang harus menanamkan kesederhanaan, kejujuran, keterbukaan, dan konsistensi dibenturkan dengan budaya mall yang penuh manipulasi, kepura-puraan, kemewahan. Budaya tanding antara nilai “sekolahan” melawan nilai “pasaran” pun tak terelakkan. Siapa yang keluar sebagai pemenang? Tentunya modus operandinya yang lebih menarik di benak para remajalah yang keluar sebagai pemenang.

Kini, instutisi sekolah bukan lagi tempat istirahat para siswa, kemudian sang guru memberinya wejangan. Sekolah tidak hanya berhadapan dengan siswa yang datang dari rumah sekedar ingin bisa membaca dan berhitung, tetapi para siswa ini juga membawa berbagai macam permasalahan yang mungkin saja samar dan tak terindikasi namun gejala dari tingkah lakunya terasa. Para siswa sekarang berhadapan dengan berbagai macam tawaran budaya, negatif dan positif, yang saban hari masuk melalui berbagai media massa dan perilaku masyarakat sekitarnya. Sumber-sumber budaya ini baik sadar atau tidak pasti merembes dalam bawah sadar mereka.

Tawuran dan kenakalan yang mengarah kriminal sebenarnya tidak lain hasil dari pencerapan seorang anak dari lingkungannya. Sangat mustahil berbagai gejala itu tumbuh sendiri tanpa ada yang menjadi pemicu inspirasi. Seperti yang diungkapkan oleh John Dewey bahwa setiap pengalaman yang telah diperoleh memodifikasi pengalaman yang sedang dijalani, sementara itu—modifikasi ini—tak peduli apakah kita kehendaki atau tidak, memengaruhi mutu pengalaman-pengalaman selanjutnya.

Jam belajar di sekolah yang tidak lebih dari sepuluh jam itu harus memikul tanggung jawab untuk menetralkan, syukur-syukur bisa memasukkan nilai positif. Dapat dibayangkan betapa beratnya beban para “resi” di pertapaan “pendidikan” itu. Sedangkan para buto (raksasa) di luar sekolah selalu menyelusup ke dalam tubuh para siswa dengan berbagai modus operandi. Di sisi lain, karena merasa tugasnya sebagai “bengkel”, terkadang sekolahan juga over acting dalam menyemai nilai-nilai luhur sehingga terjebak pada kultur “kekerasan” itu sendiri.

Menjadikan pendidikan jangan rusak-rusakan tidak cukup dari sekolah saja, tetapi dari pemerintah. Sebab di tangan pemerintahlah merah-hijaunya kebijakan dapat dijalankan. Sebab kerusakan dunia pendidikan tidak hanya bersumber dari kurikulumnya, besar-kecil anggaran, kompetensi kelulusan pengajarnya tetapi lebih kompleks yang melibatkan cara hidup masyarakat sekitarnya yang tentunya dipengaruhi kehidupan ekonomi, sosial budayanya, serta pengalaman-pengalaman yang diserap dari media massanya. Tanpa kebijakan yang tegas dan hanya dilimpahkan ke sekolah, sangat sulit dan menunggu waktu lama dengan korban dan segenapnya pengalamannya akan ditularkan ke generasi berikutnya.

Khoirul Anwar
Mahasiswa Pendidikan Kimia
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(//rfa)

Sony Makin Disiplin untuk Persiapkan Diri


DJARUM Sony Dwi Kuncoro
PALEMBANG, Kompas.com - Sony Dwi Kuncoro berhasil menyabet gelar keduanya pada tahun 2012 ini, setelah menjuarai turnamen Indonesia Terbuka Grand Prix Gold, Minggu (30/9/2012), di Palembang. Meskipun demikian, Sony, yang menaklukkan Dionysius Hayom Rumbaka dengan skor 21-11, 21-11 hanya dalam waktu 34 menit, mengaku masih perlu latihan serius untuk kembali ke performa terbaiknya.

"Saya mengetahui soal kondisi Hayom yang sedang tidak fit, dia juga bermain ketat sebelum ke final. Tidak ada strategi spesial di permainan saya hari ini, kami sudah sering latihan bersama, sama-sama tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing," jelas Sony mengenai kemenangannya atas Hayom.

Gelar ini sekaligus menjadi pembuktian Sony bahwa dirinya mampu bangkit dari keterpurukan akibat cedera pinggang yang menderanya beberapa tahun belakangan. Cedera sempat membuat peraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004 berada di masa-masa sulit hingga peringkatnya merosot dan ia terlempar dari jajaran 100 besar dunia.

"Makin ke sini, saya semakin disiplin untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa tampil sebagus mungkin saat tanding. Di usia saya sekarang ini, yang diutamakan adalah kekuatan fisik karena kecepatan sudah berkurang, sekarang harus bisa jaga stamina dan kondisi," ungkap pemain ranking 35 dunia ini.

Meskipun telah mengantongi dua gelar di tahun 2012, Sony merasa belum puas. Dia masih ingin mengejar banyak targetnya yang belum tercapai.

"Saya harus banyak belajar lagi, masih banyak yang belum saya raih. Obsesi terbesar tiap pemain adalah olimpiade, saya juga ingin, tapi tak mau terlalu berlebihan ke sana. Satu-satu dulu," ucap pemain kelahiran 7 Juli 1984 ini.

Setelah turnamen ini, Sony akan segera berangkat ke Taiwan untuk mengikuti Taipei Open Grand Prix Gold, kemudian Denmark Open Superseries Premier 2012.
 
Sumber :
Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo

Tontowi/Liliyana Kalahkan "Selingkuhan"


AFP/ADEK BERRY Ganda campura Indonesia, Liliyana Natsir (depan), mengembalikan shuttle cock, sedangkan rekannya, Tontowi Ahmad, bersiaga di belakang,
JAKARTA, Kompas.com - Ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir mengalahkan Muhammad Rijal/Debby Susanto di final Indonesia Open GP Gold.

Di final yang berlangsung di Palembang Sports and Convention Center, Minggu (30/9), Liliyana/Tontowi menang dua game 21-19, 21-14 dalam 34 menit.

Pekan lalu, Liliyana Natsir berpasangan Muhammad Rijal dan berhasil lolos ke final Jepang Terbuka Super Series. Sementara di waktu bersamaan Tontowi Ahmad berpasangan dengan Debby Susanto membela tim Jawa Tengah di ajang Pekan Olah Raga Nasional XVIII.

Indonesia merebut dua gelar juara di Indonesia Open GP Gold. Gelar lainnya diperoleh Sony Dwi Kuncoro dengan mengalahkan rekan senegara Dionysius Hayom Rumbaka di final 21-11, 21-11.

Sementara dua finalis lainnya kalah di final. Yeni Asmarani dikalahkan pemain China, Han Li 12-21, 10-21 di final tunggal putri. Sementara di  ganda putra, Angga Pratama/Ryan Agung Saputra dikalahkan ganda Korea Selatan Kim Ki Jung/Kim Sa Rang 13-21, 9-21.

Jepang memperoleh satu gelar setelah di nomor ganda putri, Misaki Matsumoto/Ayaka Takahashi mengalahkan ganda Korea Eom Hye Won/Jang Ye Na 21-12, 12-21, 21-13.
 
Editor :
A. Tjahjo Sasongko

Kalahkan Hayom, Sony Juara


KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Sony Melaju - Pemain tunggal putra Indonesia, Sony Dwi Kuncoro

JAKARTA, KOMPAS.com — Sony Dwi Kuncoro merebut gelar juara turnamen Indonesia Open GP Gold setelah di final mengalahkan Dionysius Hayom Rumbaka.

Sony yang diunggulkan di tempat keempat ini menang dua game 21-11, 21-11 dalam pertadingan final yang berlangsung di Palembang Sports and Convention Center, Minggu (30/9/2012).

Sony maju ke final dengan menyingkirkan pemain China, Gao Huan, 21-19, 21-8. Sementara Hayom menyingkirkan Alamsyah Yunus dalam rubber game 19-21, 21-10, 21-14.

Sementara di nomor ganda putri, unggulan pertama Misaki Matsumoto/Ayaka Takahashi dari Jepang keluar sebagai juara dengan mengalahkan unggulan dua asal Korea, Eom Hye-won/Jang Ye-na, 21-12, 12-21, 21-13.
Editor :
A. Tjahjo Sasongko

"All-Indonesian Final", Tunggal Putra dan Ganda Campuran Milik Indonesia


AFP/MIGUEL MEDINA Ganda campuran Indonesia, Liliyana Natsir (kiri), dan Tontowi Ahmad.
JAKARTA, Kompas.com - Indonesia memastikan diri menyabet dua gelar juara dari sektor tunggal putra dan ganda campuran di turnamen Indonesia Terbuka Grand Prix Gold yang berlangsung di Palembang. Pasalnya, di dua nomor itu terjadi all-Indonesian final, di samping masih ada peluang menambah gelar dari tunggal putri dan ganda putra.

Pada pertandingan semifinal turnamen berhadiah 120.000 dollar AS tersebut, Sabtu (29/9/2012), Sony Dwi Kuncoro yang menjadi unggulan kelima, menang straight game 21-19, 21-8 atas pemain China, Gao Huan. Kesuksesan Sony diikuti tunggal putra Pelatnas yang merupakan unggulan keempat, Dionysius Hayom Rumbaka, yang bermain rubber game sebelum menang 19-21, 21-10, 21-14 atas unggulan keenam yang juga dari Indonesia, Alamsyah Yunus.

Dari sektor ganda campuran, dua unggulan teratas berhasil melewati hadangan para lawannya. Muhammad Rijal/Debby Susanto, unggulan dua, menang 21-12, 21-12 atas unggulan delapan dari Korea Selatan Kim Sa Rang/Eom Hye Won. Di final, Minggu (30/9), mereka bertemu unggulan utama Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, yang menang 21-19, 21-19 atas kompatriotnya yang merupakan saudara kandung, Markis Kido/Pia Zebadiah Bernadeth.

Wakil lainnya yang juga maju ke final adalah tunggal putri Yeni Asmarani, yang menang 21-15, 24-22 atas pemain Pelatnas unggulan ketujuh, Adrianti Firdasari. Di final dia bertemu unggulan kedua dari China, Han Li, yang menang 22-20, 21-18 atas pemain Indonesia Lindaweni Fanetri.

Di ganda putra pun Indonesia berpeluang meraih gelar karena Angga Pratama/Ryan Agung Saputra lolos berkat kemenangan 21-23, 21-10, 21-11 atas Hafiz Faisal/Putra Eka Rhoma. Mereka akan bertarung melawan unggulan ketiga dari Korea Selatan, Kim Ki Jung/Kim Sa Rang, yang singkirkan Yonathan Suryatama Dasuki/Hendra Aprida Gunawan dengan 20-22, 21-15, 21-15.

Satu-satunya nomor yang tidak ada wakil Indonesia di final adalah ganda putri. Sektor ini milik pemain asing karena terjadi final antara pasangan Korea, Eom Hye Won/Jang Ye Na. Unggulan kedua ini bertemu unggulan utama dari Jepang Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi.
 
Sumber :
tournamentsoftware
Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo